Status Taman Nasional Mamberamo Foja (TNMF) Diusulkan Jadi Kawasan Produksi untuk Wari, Douw, Egiam

Fokus, Ekonomi239 Dilihat

Oleh: Dr. Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev (Asisten Bidang Ekonomi, Pembangunan dan SDM Setda Kabupaten Tolikara)

Ketimpangan Akses dan Tantangan Pembangunan di Wilayah Pegunungan Papua

Pembangunan yang merata di Tanah Papua masih menghadapi berbagai tantangan mendasar, terutama di wilayah pegunungan. Akses yang terbatas, keterisolasian geografis, dan minimnya ruang produksi yang sah menjadi hambatan utama bagi masyarakat di Distrik Wari/Taiyeve, Douw, dan Egiam, Kabupaten Tolikara.

Ketiga distrik ini berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Mamberamo Foja (TNMF), yang dikenal karena keanekaragaman hayatinya. Meski menjadi aset ekologis penting, status konservasi yang ketat justru menyulitkan pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan lahan secara legal.

Masyarakat adat setempat yang telah hidup berdampingan dengan alam secara turun-temurun kini menghadapi dilema. Kebutuhan dasar seperti jalan, fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, dan lahan produktif untuk bertani tidak dapat terpenuhi karena terbentur regulasi konservasi. Di sinilah muncul pertanyaan besar: mungkinkah menjaga kelestarian lingkungan tanpa mengabaikan hak dasar masyarakat untuk hidup layak?

Tulisan ini mendorong pemerintah dan pengelola kawasan konservasi untuk meninjau ulang zonasi TNMF. Sebagian wilayah konservasi diusulkan untuk dikonversi menjadi kawasan produksi terbatas, demi membuka ruang legal bagi pembangunan berbasis rakyat di ketiga distrik tersebut.

Kawasan Konservasi: Kemuliaan Lingkungan atau Ketidakadilan Sosial?

Penetapan kawasan konservasi di Papua kerap dilakukan tanpa dialog bermakna dengan masyarakat adat. Akibatnya, banyak komunitas lokal yang justru menjadi “tamu” di tanah leluhurnya sendiri. Di Distrik Wari/Taiyeve, Douw dan Egiam, aktivitas seperti pembangunan jalan dan pertanian tidak bisa dilakukan karena berbenturan dengan hukum konservasi.

Padahal, masyarakat adat Papua telah lama menjaga kelestarian hutan melalui kearifan lokal. Mereka menerapkan larangan berburu musiman, sistem rotasi lahan, serta aturan adat berbasis keseimbangan ekologi dan spiritual.

Jika status taman nasional dipertahankan tanpa mempertimbangkan realitas sosial masyarakat setempat, maka konservasi bisa berubah menjadi bentuk baru ketidakadilan struktural yang mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat.

Alasan Strategis Perubahan Status Menjadi Kawasan Produksi

Menindaklanjuti hasil rapat Sinkronisasi dan Harmonisasi Dokumen RTRW Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan yang digelar hari Jumat yang lalu di Timika, pertemuan tersebut dihadiri oleh Pimpinan Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan, Bupati Tolikara, Sekda Tolikara, para Asisten, Bupati Lanny Jaya dan jajaran.

Pembahasan fokus pada sinkronisasi pola ruang, termasuk peninjauan status kawasan konservasi Taman Nasional Mamberamo Foja yang berada di wilayah Kabupaten Tolikara. Perubahan status kawasan ini penting untuk membuka ruang pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di Distrik Wari/Taiyeve, Douw, dan Egiam.

  1. Membuka Isolasi dan Meningkatkan Konektivitas Antarwilayah
    Secara geografis, Distrik Wari/Taiyeve, Douw, dan Egiam berada di titik strategis yang bisa menghubungkan Tolikara dengan Kabupaten Puncak Jaya dan Mamberamo Raya. Namun hingga kini, konektivitas antarwilayah belum bisa diwujudkan karena terhalang status kawasan konservasi. Perubahan status sebagian wilayah TNMF menjadi kawasan produksi akan membuka peluang pembangunan infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi masyarakat.
  2. Pemanfaatan SDA Secara Legal dan Berkelanjutan
    Ketiga distrik memiliki potensi besar untuk pengembangan pertanian dataran rendah, budidaya kopi khas Papua, peternakan, perikanan, hingga agroforestry. Sayangnya, potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara legal. Konversi zona menjadi kawasan produksi terbatas akan membuka jalan bagi masyarakat untuk mengakses program-program seperti perhutanan sosial, kemitraan konservasi, dan pengembangan BUMDes berbasis sumber daya alam serta Koperasi Desa Merah Putih.
  3. Dukungan terhadap Program Strategis Kabupaten Tolikara
    Sejumlah program prioritas Pemkab Tolikara seperti “1000 HPK” untuk kesehatan ibu dan anak, serta “Sarasehans” untuk kesehatan anak sekolah dan kebutuhan sosial masyarakat, membutuhkan ketersediaan ruang hidup dan lahan produktif. Tanpa itu, program akan sulit dijalankan secara menyeluruh di semua distrik. Selain itu, sulit untuk pengembangan program nasional seperti pengembangan Koperasi Desa Merah Putih yang membutuhkan pemanfaatan potensi ekonomi dijadikan sebagai lahan pengembangan ekonomi koperasi desa merah putih.
  4. Menjadikan Masyarakat Subjek Pembangunan, Bukan Objek Konservasi
    Konversi zonasi bukan berarti membuka keran eksploitasi, melainkan memberi ruang agar masyarakat dapat menjadi pelaku utama pembangunan. Dengan tetap mempertahankan komitmen terhadap kelestarian, masyarakat adat diberi peran strategis dalam merancang masa depan wilayahnya secara legal dan berkelanjutan.

Usulan dan Langkah Strategis

  1. Dialog Multisektor dan Multi-Level Pemerintahan
    Diperlukan dialog formal lintas sektor antara KLHK, Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, Pemkab Tolikara, dan perwakilan masyarakat adat untuk membahas revisi zonasi TNMF.
  2. Kajian Akademik dan Lingkungan Terpadu
    Langkah perubahan zonasi harus didasarkan pada hasil kajian ilmiah yang komprehensif. Pemerintah daerah dapat menggandeng lembaga riset atau perguruan tinggi untuk menyusun studi dampak lingkungan dan sosial.
  3. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Terpadu
    Revisi RTRW Kabupaten Tolikara bersinergi sinkronisasi selaras dengan RTRW Provinsi Papua Pegunungan dan Nasional sehingga menjadi penting untuk mengakomodasi wilayah timur laut sebagai zona strategis pembangunan perbatasan. Hal ini akan memperkuat arah kebijakan pembangunan berbasis sumber daya alam berkelanjutan.
  4. Penguatan Peran Masyarakat Adat
    Konversi kawasan harus dibarengi dengan perlindungan hukum terhadap hak ulayat serta penguatan kapasitas kelembagaan adat. Tujuannya agar masyarakat tetap menjadi pengambil keputusan utama dalam pengelolaan kawasan produksi.

Keadilan Ekologis adalah Hak Konstitusional

Perubahan zonasi konservasi bukanlah bentuk pengrusakan lingkungan. Justru ini menjadi momentum untuk merumuskan bentuk baru dari konservasi yang adil dan inklusif—konservasi yang hidup berdampingan dengan kebutuhan dasar manusia, bukan konservasi yang membatasi hidup masyarakat demi angka di atas peta.

Papua, termasuk wilayah Distrik Wari/Taiyeve, Douw, dan Egiam, adalah rumah yang hidup. Pemerintah pusat dan lembaga konservasi diharapkan dapat melihatnya bukan sekadar sebagai kawasan hijau yang dijaga dari kejauhan, tetapi sebagai ruang hidup dinamis yang perlu ditata dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan.

Masyarakat Tolikara menaruh harapan besar bahwa langkah perubahan ini dapat menjadi jalan masuk bagi pembangunan yang manusiawi, bermartabat, dan lestari. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *