Oleh: Dr. Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev (Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabupaten Tolikara | Pemerhati Pembangunan Papua Sehat, Cerdas, dan Produktif)
Di atas tanah bebatuan dan lembah-lembah hijau Pegunungan Papua, budaya tidak diwariskan lewat buku atau dokumen. Ia hidup dalam tanah yang digarap, lagu-lagu adat yang dilantunkan, dan cerita yang berpindah dari mulut ke mulut. Budaya bagi Orang Asli Papua (OAP) bukan sekadar peninggalan leluhur—ia adalah nafas kehidupan.
Namun hari ini, saya melihat budaya itu makin pelan. Makin sunyi. Bahkan terancam lenyap dalam kebisingan modernisasi yang datang begitu cepat. Di banyak tempat, nilai-nilai luhur yang dulu menjadi sandaran hidup masyarakat adat kini tersingkir oleh standar-standar pembangunan yang tidak berpihak pada akar budaya.
Suku Lani, suku besar dari wilayah tanah tinggi Papua, memiliki kekayaan budaya luar biasa: rumah honai yang menjadi simbol perlindungan dan kebersamaan, ritual bakar batu yang menyatukan komunitas, serta sistem marga dan hukum adat yang menjaga harmoni antara manusia dan alam. Namun pertanyaannya: siapa yang hari ini masih peduli? Siapa yang masih menjadikannya landasan dalam pembangunan?
Kita sering membanggakan Otonomi Khusus sebagai solusi atas ketimpangan pembangunan di Papua. Tapi jujur saja: apakah kita membangun Papua dengan mengangkat nilai-nilai leluhur, atau justru menyingkirkannya demi mengejar sesuatu yang disebut “kemajuan”?
Saya menyaksikan generasi muda kini semakin jauh dari akarnya. Mereka malu mengenakan pakaian adat, tak mengenal bahasa lokal, dan lebih akrab dengan budaya pop dari luar ketimbang tradisi sendiri. Tapi siapa yang salah? Sistem pendidikan kita tidak mengajarkan budaya Papua. Media lokal nyaris tak menampilkan tokoh adat. Pemerintah pun lebih sibuk membangun infrastruktur fisik ketimbang karakter dan jati diri.
Budaya Papua bukan benda mati yang dipajang di museum. Ia adalah roh yang hidup dalam tubuh setiap orang asli Papua. Jika budaya itu hilang, maka yang tertinggal hanyalah tubuh tanpa jiwa. Kita sedang menyaksikan generasi yang hidup, tapi tidak tahu siapa dirinya. Inilah bentuk kemiskinan paling berbahaya: kehilangan identitas.
Pembangunan tidak boleh menjadi alat untuk menghapus memori kolektif. Sebaliknya, ia harus menumbuhkan kesadaran akan siapa kita. Jika negara benar-benar serius dengan Otonomi Khusus, maka Dana Otsus harus dialokasikan untuk pendidikan berbasis budaya, dokumentasi warisan adat, revitalisasi bahasa daerah, dan penguatan posisi tokoh adat dalam pengambilan kebijakan.
Masyarakat adat harus berada di tengah panggung pembangunan—bukan di belakang layar. Budaya adalah fondasi masa depan. Papua bisa maju tanpa harus kehilangan jati dirinya. Kita tidak perlu menjadi Jakarta atau kota-kota besar lainnya untuk disebut “berkembang”. Kita hanya perlu menjadi diri kita sendiri: utuh, berakar, dan bermartabat.
Saya percaya, selama budaya masih hidup, Papua akan tetap bernyawa.
“Kami, Orang Asli Papua, bukan orang lupa. Kami tahu dari mana kami berasal. Yang kami butuhkan bukan belas kasihan, tapi ruang untuk berdiri tegak dengan adat dan budaya kami.”
Selamat dan Sukses penyelenggaraan Festival Lembah Baliem xxxiii – 2025. Usilimo – Jayawijaya – Papua Pegunungan (*)








